the less it u know is better
There’s profound wisdom in the phrase “the less you know, the better.” Pepatah ini menyentuh beberapa aspek penting dalam pengalaman hidup manusia.
Pengetahuan sering membawa tanggung jawab dan beban. Ketika kita mengetahui kebenaran yang meresahkan—tentang orang yang kita percayai, sistem yang kita yakini, atau realitas yang lebih kita sukai untuk diabaikan—kita tidak lagi bisa kembali pada kenyamanan ketidaktahuan. Beban pengetahuan bisa terasa berat, mengharuskan kita bertindak secara berbeda atau menjadi saksi diam atas kebenaran yang tidak nyaman.
Pengetahuan yang terbatas juga bisa mempertahankan keajaiban dan kemungkinan. Anak-anak mengalami dunia dengan ketertarikan tak terbatas justru karena mereka belum mengkategorikan dan memberi label pada segala hal di sekitar mereka. Sebagai orang dewasa, pengetahuan yang terkumpul terkadang menutup pintu imajinasi daripada membukanya. Seorang ahli mungkin hanya melihat apa yang telah dilatih untuk mereka lihat, sementara seorang pemula mungkin menyadari sesuatu yang revolusioner justru karena mereka tidak tahu apa yang “tidak mungkin.”
Dalam hubungan, ketidaktahuan selektif terkadang bisa menjadi rahmat. Tidak mengetahui setiap detail masa lalu pasangan, setiap pikiran yang melintas di benak mereka, atau setiap kesalahan yang mereka buat memberi ruang untuk privasi, pengampunan, dan manfaat dari keraguan. Transparansi total tidak selalu merupakan pendekatan terbaik untuk koneksi antarmanusia.
Ada juga kebijaksanaan dalam mengenali batas-batas pengetahuan itu sendiri. Semakin banyak yang kita pelajari tentang subjek kompleks apa pun, semakin kita memahami betapa banyak yang masih belum diketahui. Kebijaksanaan sejati sering mencakup kerendahan hati tentang batasan-batasan apa yang dapat kita ketahui dengan pasti, dan kenyamanan dengan ambiguitas yang mendefinisikan sebagian besar kehidupan.